Adalah burung snipe. Burung berbulu cokelat berbintik aneka warna ini memiliki bentuk sangat kecil, lincah, gesit, dan banyak ditemukan di rawa-rawa daratan Skotlandia serta Inggris. Saking lincahnya, burung ini sangat sukar untuk dijadikan sebagai sasaran tembak sehingga setiap orang yang dapat menembak jatuh burung snipe akan dianggap sebagai ahli menembak. Dengan demikian, perburuan terhadap burung ini merupakan sebuah ajang unjuk kehebatan menembak. Inilah awal mula dari kata sniper atau penembak jitu.
Pada akhir abad ke-18 ungkapan sniper sering disebut dalam surat-surat yang dikirim ke rumah oleh orang-orang Inggris yang bertugas di India. Pada abad ke-19, kata sniper digunakan secara umum untuk menyebut seseorang yang mahir dalam olah raga menembak. Istilah sniper juga dipakai untuk mendefinisikan seseorang yang mahir dalam melakukan pembunuhan dengan menggunakan senapan laras panjang. Dalam perkembangannya, kata sniper merujuk pada seorang prajurit tempur yang bertugas untuk membidik dan menumbangkan targetnya.
Dalam hal ini, tugas seorang prajurit sniper sangat berbeda dari prajurit infanteri lain. Pada masa Perang Dunia, sniper mengacu pada seseorang yang mampu menembak musuhnya dari jarak jauh. Ia, sang sniper, bersembunyi sedemikian rupa agar tidak diketahui posisinya hingga memudahkan tugasnya untuk membunuh musuh atau memukul mundur barisan musuh yang hendak melakukan penyerangan. Tentu saja, dalam menjalankan tugas seorang sniper membekali dirinya dengan senapan yang akurat dan perlengkapan lain yang memadai.
Selain keahlian menembak, seorang sniper juga harus memiliki kemampuan menyamarkan diri sehingga posisinya tidak diketahui musuh. Tuntutan kerahasiaan ini merupakan konsekuensi logisdari tugasnya yang penuh risiko. Di sebuah medan pertempuran, sering kali seorang sniper diturunkan sendirian atau dalam kelompok berjumlah dua orang dan harus menyusup jauh hingga ke balik garis pertahanan musuh. Dalam kondisi semacam ini, kamuflase adalah hal penting karena selain untuk menjamin keberhasilan misi, kamuflase juga sangat berperan dalam menjamin nyawa prajurit sniper bersangkutan.
Kematangan ketenangan, kecermatan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan emosi juga merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang sniper. Bagi para sniper, medan pertempuran bukanlah peristiwa kolektif. Bagi para sniper, pertempuran selalu merupakan peristiwa personal yang penuh dengan emosi. Dalam hal ini, keberanian saja tidak cukup karena terkadang seorang sniper menemukan dirinya harus membunuh musuh yang berada dalam posisi tidak berdaya. Lebih dari itu, seorang sniper juga dituntut untuk dapat membunuh musuh dengan santai, relaks, dan tanpa tekanan. Ia harus memilih target secara cermat dan harus mampu mengontrol kualitas emosinya sebab ia akan melihat wajah-wajah orang yang telah dibunuhnya. Ringkasnya, seorang sniper harus mempunyai kekuatan mental-psikologis yang memadai.
Kisah Sersan Hathcock, seorang legenda di kalangan Marinir AS, barangkali dapat diajukan sebagai contoh menarik dari tekanan emosional-psikologis yang harus dihadapi para sniper di medan pertempuran. Dalam sebuah tugas di Vietnam, Hathcock terpaksa membunuh seorang anak kecil karena anak tersebut menyembunyikan senapan AK 47 di antara wadah bambu khas Vietnam yang biasanya digunakan sebagai penyimpan makanan. Ditengarai sebagai kurir, Hathcock dengan senapan M2HB[2] modifikasi menembak ban sepeda yang dikayuh anak kecil tersebut. Usai anak tersebut bangkit akibat terpelanting, Hathcock menghancurkan dada anak kecil tersebut dengan senapan modifikasinya dari jarak sejauh 2.286 meter.
Tentu saja, emosi akan membekaskan kesan mendalam sepanjang kehidupan sang sniper. Bukan saja melihat wajah-wajah orang yang telah dibunuhnya, seperti Hathcock yang dengan kesadaran militernya membunuh seorang bocah Vietkong, namun terkadang para sniper juga harus bisa mengendalikan emosinya ketika menyaksikan mitra satu-satunya di medan pertempuran jatuh menjadi korban. Dalam keadaan semacam ini, bertindak gegabah untuk segera membalas dendam kematian kawan merupakan kesalahan fatal yang berakibat terungkapnya tempat persembunyian dan terbongkarnya penyamaran sehingga ia sendiri bisa terbunuh dan misinya gagal.
Namun demikian, tekanan psikologis seperti di atas masih ditambah dengan tudingan miring yang sering dialamatkan pada para sniper, bahkan tudingan ini diberikan bukan oleh musuh namun oleh rekan-rekan dari kesatuan lain. Sebagai seorang prajurit yang harus sering bersembunyi ketika menjalankan tugas, para sniper sering kali dianggap sebagai pengecut. Ini belum menghitung tudingan sebagai pembunuh yang sering dialamatkan pada prajurit sniper, bahkan dalam beberapa kata kerja snipping disamakan dengan kata �membunuh.� Tudingan dan terminologi semacam ini jelas tidak menguntungkan bagi para prajurit sniper profesional yang rela bekerja keras untuk membela bangsanya, bahkan terkadang harus mengorbankan jiwanya.
Pada akhir abad ke-18 ungkapan sniper sering disebut dalam surat-surat yang dikirim ke rumah oleh orang-orang Inggris yang bertugas di India. Pada abad ke-19, kata sniper digunakan secara umum untuk menyebut seseorang yang mahir dalam olah raga menembak. Istilah sniper juga dipakai untuk mendefinisikan seseorang yang mahir dalam melakukan pembunuhan dengan menggunakan senapan laras panjang. Dalam perkembangannya, kata sniper merujuk pada seorang prajurit tempur yang bertugas untuk membidik dan menumbangkan targetnya.
Dalam hal ini, tugas seorang prajurit sniper sangat berbeda dari prajurit infanteri lain. Pada masa Perang Dunia, sniper mengacu pada seseorang yang mampu menembak musuhnya dari jarak jauh. Ia, sang sniper, bersembunyi sedemikian rupa agar tidak diketahui posisinya hingga memudahkan tugasnya untuk membunuh musuh atau memukul mundur barisan musuh yang hendak melakukan penyerangan. Tentu saja, dalam menjalankan tugas seorang sniper membekali dirinya dengan senapan yang akurat dan perlengkapan lain yang memadai.
Selain keahlian menembak, seorang sniper juga harus memiliki kemampuan menyamarkan diri sehingga posisinya tidak diketahui musuh. Tuntutan kerahasiaan ini merupakan konsekuensi logisdari tugasnya yang penuh risiko. Di sebuah medan pertempuran, sering kali seorang sniper diturunkan sendirian atau dalam kelompok berjumlah dua orang dan harus menyusup jauh hingga ke balik garis pertahanan musuh. Dalam kondisi semacam ini, kamuflase adalah hal penting karena selain untuk menjamin keberhasilan misi, kamuflase juga sangat berperan dalam menjamin nyawa prajurit sniper bersangkutan.
Kematangan ketenangan, kecermatan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan emosi juga merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang sniper. Bagi para sniper, medan pertempuran bukanlah peristiwa kolektif. Bagi para sniper, pertempuran selalu merupakan peristiwa personal yang penuh dengan emosi. Dalam hal ini, keberanian saja tidak cukup karena terkadang seorang sniper menemukan dirinya harus membunuh musuh yang berada dalam posisi tidak berdaya. Lebih dari itu, seorang sniper juga dituntut untuk dapat membunuh musuh dengan santai, relaks, dan tanpa tekanan. Ia harus memilih target secara cermat dan harus mampu mengontrol kualitas emosinya sebab ia akan melihat wajah-wajah orang yang telah dibunuhnya. Ringkasnya, seorang sniper harus mempunyai kekuatan mental-psikologis yang memadai.
Kisah Sersan Hathcock, seorang legenda di kalangan Marinir AS, barangkali dapat diajukan sebagai contoh menarik dari tekanan emosional-psikologis yang harus dihadapi para sniper di medan pertempuran. Dalam sebuah tugas di Vietnam, Hathcock terpaksa membunuh seorang anak kecil karena anak tersebut menyembunyikan senapan AK 47 di antara wadah bambu khas Vietnam yang biasanya digunakan sebagai penyimpan makanan. Ditengarai sebagai kurir, Hathcock dengan senapan M2HB[2] modifikasi menembak ban sepeda yang dikayuh anak kecil tersebut. Usai anak tersebut bangkit akibat terpelanting, Hathcock menghancurkan dada anak kecil tersebut dengan senapan modifikasinya dari jarak sejauh 2.286 meter.
Tentu saja, emosi akan membekaskan kesan mendalam sepanjang kehidupan sang sniper. Bukan saja melihat wajah-wajah orang yang telah dibunuhnya, seperti Hathcock yang dengan kesadaran militernya membunuh seorang bocah Vietkong, namun terkadang para sniper juga harus bisa mengendalikan emosinya ketika menyaksikan mitra satu-satunya di medan pertempuran jatuh menjadi korban. Dalam keadaan semacam ini, bertindak gegabah untuk segera membalas dendam kematian kawan merupakan kesalahan fatal yang berakibat terungkapnya tempat persembunyian dan terbongkarnya penyamaran sehingga ia sendiri bisa terbunuh dan misinya gagal.
Namun demikian, tekanan psikologis seperti di atas masih ditambah dengan tudingan miring yang sering dialamatkan pada para sniper, bahkan tudingan ini diberikan bukan oleh musuh namun oleh rekan-rekan dari kesatuan lain. Sebagai seorang prajurit yang harus sering bersembunyi ketika menjalankan tugas, para sniper sering kali dianggap sebagai pengecut. Ini belum menghitung tudingan sebagai pembunuh yang sering dialamatkan pada prajurit sniper, bahkan dalam beberapa kata kerja snipping disamakan dengan kata �membunuh.� Tudingan dan terminologi semacam ini jelas tidak menguntungkan bagi para prajurit sniper profesional yang rela bekerja keras untuk membela bangsanya, bahkan terkadang harus mengorbankan jiwanya.
Posting Komentar